Jumat, 08 April 2011

POKOK PEMIKIRAN TOKOH FILSAFAT PADA ABAD PENCERAHAN

PENDAHULUAN
Sebagaimana lazimnya suatu dialog intelektual, disatu sisi terdapat bagian yang dilestarikan dan sisi lain ada bagian dikritisi atau diserang bahkan mungkin ada bagian yang ditolak. Didunia Islampun muncul pelestari warisan Yunani,Persia dan Romawi, namun juga banyak yang melakukan kritik terhadapnya. Disinilah tampak dinamika intelektual. Konsep Ide Plato trus dipelajari dan dikembangkan,begitu juga konsep Akal dan Logika Aristoteles serta konsep Emanasi Plotinus. Semuanya tetap dijadikan pijakan. Ini membuktikan bahwa ketiga filusuf tersebut merupakan para pionir memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membentuk pola pikir para filusuf generasi berikutnya tidak terkecuali Immauel Kant,Filsuf kelahiran Jerman yang abad ke-18.
Menurut Kant,Fiksafat adalah ilmu (Pengetahuan) yang menjadi pangkal dari semua pengetahuan yang di dalamnya tercakup masalah epistemologi yang menjawab persoalan apa yang dapat kita ketahui.
Tampak adanya perbedaan yang menyolok antara abad ke-17 dan abad ke-18. Abad ke-17 membatasi diri pada usaha memberikan tafsiran baru terhadap kenyataan bendawi dan rohani,yaitu kenyataan yang mengenai manusia,dunia dan Allah.dan tokoh-tokoh filsafat di era ini adalah juga tokoh-tokoh gereja sehingga mereka tidak lepas dari isu-isu ketuhanan,Yesus dan sebagainya.1 Akan tetapi abad ke-18 menganggap dirinya mendapat tugas untuk meneliti secara kritik (sesuai dengan kaidah-kaidah yang diberikan akal)segala yang ada,baik didalam negara maupun didalam masyarakat.








PEMBAHASAN
POKOK PEMIKIRAN TOKOH FILSAFAT PADA ABAD PENCERAHAN
1.       Tentang Ilmu Pengetahuan
a.       Teori Hume tentang pengalaman dan Kausalitas
Dimulai dengan ide bahwa semua isi pengalaman sadar kita dapat dipecah menjadi dua kategori yakni kesan dan ide. Hume mengatakan bahwa istilah kesan (impresi)[1] menunjuk kepada semua persepsi kita yang lebih hidup ketika mendengar, melihat, merasa, mencinta, membenci, menginginkan atau menghendaki. Hume sependapat dengan Locke mengenai premis dasar emperisma, yakni hanya dari pengalaman sajalah kita dapat memperoleh tentang segala sesuatu di luar diri kita, entah itu pengalaman kita sendiri atau pengalaman orang lain. Ia sependapat dengan Berkeley bahwa premis tersebut harus diterapkan secara konsisten. Maka, ia juga setuju bahwa kita tidak pernah dapat mengetahui dengan kepastian mutlak bahwa ada satu material di luar dari dan terlepas dari diri kita. Namun, kata Hume pernyataan itu bukan tentang dunia, melainkan  lebih tentang pengetahuan.[2]
Dalam bukunya An Enquiry Concerning Human Understanding (1748), Hume mengatkan bahwa semua materi pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi kita. Dengan demikian, ia pun menolak paham rasionalisme yang berpendapat bahwa pengetahuan manusia bersumber dari akal budi manusia.
b.         Ide-ide dan pengetahuan John Locke
Locke memulai refleksinya tentang pengetahuan manusia dengan mengajukan pertanyaan: “Dari mana pengetahuan manusia itu berasal?” Locke menegaskan bahwa pengetahuan manusia berasal dari pengalaman inderawi. Pengalaman inderawi memungkinkan manusia memiliki ide-ide sederhana. Ide-ide sederhana tersebut dapat menjadi ide kompleks jika sudah ada kombinasi yang melibatkan beberapa dari ide-ide sederhana tersebut. Kombinasi dari ide-ide sederhana itu misalnya “sebab”, “relasi”, “syarat”, dan sebagainya. Ide-ide dalam akal budi manusia itu berawal dari pencerapan inderawi. Ada dua bentuk sumber pengetahuan manusia menurutnya, yaitu sensasi dan refleksi. Dua hal ini menjadi sumber dari ide-ide sederhana.
Ide-ide yang dimaksudkan Locke didapatkan melalui cara yang bervariasi atau melalui indera yang berbeda. Ide-ide yang diterima melalui panca indera itu dapat sampai pada akal budi dan menggerakkanya. Dan, akal budi dapat mengembangkan ide-ide yang ada itu melalui proses penalaran dan pertimbangan. Itulah yang disebut Locke sebagai sensasi.
Refleksi meliputi aktivitas seperti berpikir, meragukan, percaya, bernalar, mengetahui, menghendaki, dan semua aktivitas yang menghasilkan ide-ide yang berbeda dari apa yang diperoleh melalui panca indera. Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa apa yang dimaksudkan oleh Locke sebagai ide-ide tidak saja tentang hal-hal yang berada di luar akal budi (eksternal) tetapi juga refleksi dalam akal budi (internal).
Locke memberi perhatian yang sangat besar pada usaha manusia untuk mengenal. Baginya yang paling penting bukanlah memberi pandangan metafisis tentang tabiat roh dan benda. Locke menolak rasionalisme yang menganggap bahwa ide-ide dan asas-asas pertama sebagai bawaan manusia. Menurutnya, segala pengetahuan datang dari pengalaman yang didapatkan.[3] Locke melihat bahwa pengetahuan terbatas pada ide-ide. Pekerjaan roh manusia terbatas pada memberi sebutan kepada ide-ide tunggal, menggabung-gabungkannya, merangkumkannya, dan menjadikannya bersifat umum.

c.             Ajaran Immanuel Kant Tentang Pengetahuan
Secara prinsip pendapatnya tentang pengetahuan terdapat dalam karyanya yang berjudul Kritik Der reinen vernunft (Kritik Atas Budi,1781). Karya ini berfungsi sebagai semacam proyek raksasa yang di tujukan untuk membuat sintesis antara rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme menyatakan bahwa sumber pengetahuan adalah akal budi (rasio) saja, dan pengalaman hanya menegaskan  apa yang telah ada dalam rasio. Adapun empirisme berpendapat sebaliknya. Sumber pengalaman hanyalah sumber indrawi sehingga hanya bias yang diindra saja yang bisa dijadikan dasar pengetahuan.
Kant memberikan reaksi kritis terhadap kedua pendapat di atas. Meskipun Kant mengagumi filsafat Hume, ia tidak bias menerima ajaran Hume yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan alam tidak bias mencapai kepastian, namun hanya kemungkinan. Kant melihat bahwa hukum-hukum ilmu pengetahuan alam berlaku secara umum, selalu, dan dimana-mana (misalnya pada suhu 100°C air mendidih atau benda yang kita lemparke atas akan jatuh karena adanya gaya gravitasi). Kant berusaha untuk menunjukkan bahwa pengenalan berpusat pada subjek, bukan pada objek[4].
2.         Tentang Agama
a.       Agama menurut Hume
David Hme menegaskan bahwa tidak ada bukti yang benar-benar sahih yang dapat membuktikan bahwa Allah ada dan bahwa Ia menyelenggarakan dunia ini, Hume menolak  eksistensi Allah dan kebenaran agama, bahka ia juga menolak gagasan tentang Allah, serta menganggap bahwa moralitas semata-mata hanyalah perasaan manusia belaka. Terhadap perasaan itu sendiri, akal sehat tidak memilik wewenang untuk mengendalikan atau mengawasinya[5].
b.      Agama menurut John Locke
Pandangan Locke mengenai agama bersifat deistik. Ia menganggap agama Kristen adalah agama yang paling masuk akal dibandingkan agama-agama lain, karena ajaran-ajaran Kristen dapat dibuktikan oleh akal manusia. Pengertian tentang Allah juga disusun oleh pembuktian-pembuktian. Locke berangkat dari kenyataan bahwa manusia adalah makhluk berakal budi, sehingga pastilah disebabkan karena adanya 'Tokoh Pencipta' yang mutlak dan maha kuasa, yaitu Allah. Ia meyakini bahwa Alkitab ditulis oleh ilham Ilahi, namun ia juga menyatakan bahwa setiap wahyu Ilahi haruslah diuji oleh rasio manusia[6]

c.        Agama menurut Imanuel Kant
Menurut Immanuel Kant, pada manusia terdapat perintah yang disebut perintah kategori, yaitu perintah yang mengharuskan orang berbuat hanya demi perintah itu, tanpa menanyakan untuk apa  melakukan perintah itu. Tetapi dalam praktiknya orang tidak dapat memenuhi perintah itu. Pemenuhan perintah itu yang secara sempurna hanya mungkin jika ada pertolongan dari “Tokoh Yang Tertinggi”, yaitu Allah. Pertolongan ini memang ada sebab, sebab Allah menghendaki supaya manusia memperoleh kebahagiaan., adanya harapan dan kebahagiaan inilah awal dari agama. Manusia berharap jika cita-cita yang mulia itu tidak tercapai di dunia , dengan pertolongan Allah, maka akan tercapai di dunia yang akan dating. Kewajiban-kewajiban manusia yang semula muncul dari dirinya sendiri itu, kemudian dipandang sebagai perintah-perintah yang datangnya dari Allah. Demikianlah moralitas memimpin pada agama.
Berdasarkan keyakinan yang demikian itu, Kant menolak menganggap bahwa beragama (juga beragama Kristen) berarti mnyetujui dogma-dogma gereja sebagai kebenaran yang mutlak. Agama bukanlah soal akal, melainkan soal perbuatan. Sebenarnya apa yang di ajarkan di dalam alkitab sebagai hal yang diwahyukan itu dapat juga diketahui melalui rasio murni manusia.[7]

3.      Tentang Seni
a.         Seni menurut Hume
Hume mengatakan bahwa keindahan bukanlah suatu kualitas objektif yang terletak di dalam objek-objek itu sendiri, melainkan berada di alam fikiran. Manusia tertarik pada suatu bentuk dan struktur tertentu lalu menyebutnya indah. Hume mengatakan bahwa apa yang di anggap indah oleh manusia sesungguhnya amat di tentukan oleh sifat alami manusia, yang dipengaruhi juga oleh kebiasaan dan prefensi individual.[8]
b.         Seni menurut john locke
Menurut John Locke, dalam bukunya “Two Treatises on Government” tahun 1690, kebebasan itu berangkat dari kepemilikan. Ini sama sekali tidak berkaitan dengan politik kepentingan yang mengacu pada milik pribadi (“possesive individualism”) seperti yang dimaksud beberapa kritikus. Pernyataan Locke itu lebih menekankan pada definisi bidang kepribadian. Kepemilikan yang dimaksud Locke pertama-tama adalah kepemilikan manusia atas dirinya sendiri
Lebih jauh lagi, kebebasan bukan hanya dalam bidang kepemilikan saja, tetapi juga meliputi kebebasan dalam bidang politik, budaya, spiritual dan termasuk kesenian. Yang intinya adalah menilai sebuah seni dengan subjektif berdasarkan kebebasan. Kemungkinan pertukaran dan persaingan bebas gagasan-gagasan akan dapat menghasilkan manusia yang berdaya cipta dan percaya diri, manusia yang memajukan ilmu pengetahuan dan seni.

c.         Seni menurut Kant
Kant menganggap kesadaran estetis sebagai unsur yang penting dalam pengalaman manusia pada umumnya,sama seperti Hume, Kant juga berpendapat bahwa keindahan itu merupakan penilaian estetis yang semata-mata subjektif, dalam karyanya critique of Judgment, Kant mengatakan bahwa pertimbangan estetis  memberikan fokus yang mat di butuhkan untuk menjembatani segi-segi teori dan praktik dari sifat manusia[9]
















PENUTUP

Simpulan
Beberapa hal penting yang perlu digaris bawahi menyangkut pandangan empirisme. kaum empiris mengakui proses pengindraan atau presepsi sampai tingkat tertentu tidak diragukan. Sampai tingkat tertentu, persepsi bebas dari kemungkinan salah atau keliru. Persepsi tidak bisa diragukan. Yang keliru hanya daya nalar manusia dalam menangkap dan memutuskan apa yang ditangkap oleh panca indra itu. Menurut kaum emperis,  tidak bisa diragukan bahwa ada kebenaran tertentu yang diberikan oleh pengalaman indrawi kita. Bahkan satu-satunya pengetahuan sejati adalah pengetahuan lewat pengalaman. Kaum empirisis mengakui bahwa ada pengetahuan tertentu yang tidak diperoleh melalui pengalaman indrawi. Dan kaum empiris lebih mengutamakan dan menekankan metode pengetahuan induktif, yaitu cara kerja ilmu-ilmu empiris yang mendasarkan diri  pada pengamatan. Atas sikap dasar seperti inilah menjadi sumbangan besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern, karena memacu percobaan yang didasarkan pada observasi dan penelitian empiris











DAFTAR PUSTAKA
Harun Hadiwijono, Teologi Reformatis Abad Ke-20, hlm.10, Gunung Mulia, Jakarta, 2004.
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, Hlm.69 , Kanisius, Yogyakarta, 1996,
Simon Petrus L. Tjahjadi, Petulangan Intelektual, Konfrontasi dengan Para Filsuf, Hlm. 281, Yogyakarta, Kanisius, 2008.
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, Hlm.48, Yogyakarta, Kanisius, 1996
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, hlm. 36, Yogyakarta, Kanisius, 1980
A.Sonny Keraf & Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis, Hlm. 53, Kanisius, Yogyakarta, 2010.
Bryan Magee, The Story of Philosophy, diterjemahkan oleh Marcus widodo, Hardono Hadi, Hlm.112, Kanisius, Yogyakarta, 2008



[1] A. Sonny Keraf & Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis, Hlm. 53, Kanisius, Yogyakarta, 2010.

[2] Bryan Magee, The Story of Philosophy, diterjemahkan oleh Marcus widodo, Hardono Hadi, Hlm.112, Kanisius, Yogyakarta, 2008
[3] . Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, hlm. 36, Yogyakarta, Kanisius, 1980.
[4] . Simon Petrus L. Tjahjadi, Petulangan Intelektual, Konfrontasi dengan Para Filsuf, Hlm. 281, Yogyakarta, Kanisius, 2008.
[5] . Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, Hlm.48, Yogyakarta, Kanisius, 1996
[6] . Harun Hadiwijono, Opcit., 36.
[7] . Harun Hadiwijono, Teologi Reformatis Abad Ke-20, hlm.10, Gunung Mulia, Jakarta, 2004.
[8] .  Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, Hlm.69 , Kanisius, Yogyakarta, 1996,
[9] Ibid, Hlm. 69.