Kamis, 24 Maret 2011

TAS'IR (FIKIH MUAMALH B)

PENDAHULUAN
            Perekonomian merupakan bagian yang sangat penting untuk kelangsungan utuhnya sebuah negara. Perekonomian negara yang kokoh akan mampu menjamin kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Salah satu penunjang perekonomian negara adalah kesehatan pasar, baik pasar barang jasa, pasar uang, maupun pasar tenaga kerja. Kesehatan pasar, sangat tergantung pada makanisme pasar yang mampu menciptakan tingkat harga yang seimbang, yakni tingkat harga yang dihasilkan oleh interaksi antara kekuatan permintaan dan penawaran yang sehat. Apabila kondisi ini dalam keadaan wajar dan normal (tanpa ada pelanggaran), monopoli misalnya? maka harga akan stabil, namun apabila terjadi persaingan yang tidak jujur, maka keseimbangan harga akan terganggu dan yang pada akhirnya mengganggu hak rakyat secara umum.
            Pemerintah Islam, sejak Rasulullah  SAW di Madinah memusatkan perhatian pada masalah keseimbangan harga ini, terutama pada bagaimana peran negara dalam mewujudkan kestabilan harga dan bagaimana mengatasi masalah ketidakstabilan harga. Para ulama berbeda pandapat mengenai boleh tidaknya negara menetapkan harga. Masing Masing golongan ulama ini memiliki dasar hukum dan interpretasi.
            Berdasarkan perbedaan pendapat para ulama tersebut, makalah ini mengkaji penetapan harga oleh negara dalam ruang lingkup fikih dengan mempertimbangkan realitas ekonomi.

PEMBAHASAN
TAS'IR

1. Pengertian Tas'ir
            Kata tas'ir berasal dari kata sa'ara-yas'aru-sa'ran, yang artinya menyalakan.  Lalu dibentuk menjadi kata as-si'ru dan jamaknya as'ar  yang artinya harga (sesuatu). Kata as-si'ru ini digunakan di pasar untuk menyebut harga (di pasar) sebagai penyerupaan terhadap aktivitas penyalaan api, seakan menyalakan nilai (harga) bagi sesuatu.

            Dan para ulama merumuskan definisi tas'ir secara syar'i, yaitu: seorang imam (penguasa), wakilnya atau setiap orang yang mengurusi urusan kaum Muslim memerintahkan kepada para pelaku pasar agar tidak menjual komoditas kecuali dengan harga tertentu, mereka dilarang untuk menambah harganya hingga harga tidak membumbung atau mengurangi harganya hingga tidak memukul selain mereka.  Jadi, mereka dilarang untuk menambah atau mengurangi dari harga yang dipatok demi kemaslahatan masyarakat. Artinya, negara melakukan intervensi (campur tangan) atas harga dengan menetapkan harga tertentu atas suatu komoditas dan setiap orang dilarang untuk menjual lebih atau kurang dari harga yang ditetapkan itu demi mempertimbangkan kemaslahatan masyarakat.

            Fakta pematokan harga ini dapat kita saksikan dalam sistem ekonomi kapitalis pada saat ini. Pematokan harga itu dilakukan negara dengan alasan untuk melindungi kepentingan masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu, misalnya kelompok produsen atau kelompok konsumen.

            Pematokan harga terjadi dalam tiga bentuk: Pertama, pematokan harga secara fix.  Kedua, pematokan harga tertinggi, yakni dengan menetapkan harga jual tertinggi. Contohnya adalah penetapan harga eceran tertinggi pupuk. Penjual dilarang menjual lebih dari harga tertinggi yang dipatok itu.  Sebaliknya, mereka boleh menjual dengan harga yang lebih rendah.  Ini ditetapkan demi melindungi konsumen. Ketiga, pematokan harga terendah seperti pematokan harga terendah gabah, dsb. Dalam hal ini pembeli dilarang membeli lebih rendah dari harga terendah itu. Sebaliknya, mereka boleh membeli dengan harga lebih tinggi dari harga itu. Ini dilakukan untuk melindungi produsen. Contohnya adalah penetapan harga terendah gabah untuk melindungi petani. Meski demikian, dalam praktiknya kebijakan ini terlihat tidak efektif. Pada saat panen raya, harga gabah tetap saja anjlok.  Begitu juga harga pupuk; sering lebih tinggi daripada harga eceran tertinggi yang ditetapkan Pemerintah.

2. Pendapat Ulama Tentang Tas'ir

 a. Pendapat Yang Tidak Setuju Dengan Tas'ir
Menurut mereka Allah telah menetapkan seseorang untuk menjual komoditasnya dengan harga yang ia ridhai. dengan dalil yang mereka kemukakan bahwa Allah Swt. berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian. (QS an-Nisa [4]: 29).

Dan  juga sabda Rasulullah saw yang berbunyi :

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

Sesungguhnya jual-beli itu harus dengan saling ridha (antara penjual dan pembeli). (HR Ibn Majah).

        Tas'ir bertentangan dengan nash-nash tersebut. Sebab, tas'ir bermakna pemaksaan atas penjual dan atau pembeli untuk berjual-beli dengan harga tertentu.  Ini melanggar kepemilikan seseorang karena kepemilikan itu bermakna seseorang memiliki kekuasaan atas harta miliknya. Karena itu, ia berhak menjual dengan harga yang ia sukai.  Pematokan harga tentu akan menghalangi atau merampas sebagian kekuasaan seseorang atas hartanya. Sesuai keterangan nas syariah di atas, hal itu tidak boleh terjadi.

        Dalam riwayat Abu Hurairah di atas, Rasulullah saw. pernah diminta untuk mematok harga, padahal harga sedang membubung tinggi. Seandainya tas'ir boleh, pastilah Rasulullah saw. memenuhi permintaan tersebut. Namun, Beliau ternyata tidak memenuhinya. Dalam riwayat Anas di atas, Beliau menjelaskan alasan mengapa Beliau tidak melakukannya.  Beliau menjelaskan bahwa tas'ir merupakan kezaliman, sedangkan segala bentuk kezaliman adalah haram.  Atas dasar itu, tas'ir hukumnya haram.  Ini adalah pendapat jumhur ulama.

        Keharaman tas'ir ini berlaku secara umum untuk semua komoditi. Hal itu sesuai keumuman larangan tas'ir di atas.  Rasulullah saw. menyatakan tas'ir sebagai kezaliman tanpa menyebutkan komoditinya. Ini artinya keharaman itu berlaku untuk semua jenis komoditi.   Keharaman tas'ir juga berlaku dalam semua kondisi baik kondisi damai atau perang; baik harga anjlok, normal atau sedang membubung tinggi.  Hal itu sesuai dengan kemutlakan nasnya.

        Pada faktanya, pematokan harga merupakan dharar bagi umat.  Pematokan harga itu akan mendorong terbentuknya pasar gelap yang jauh dari monitoring negara.  Dengan begitu suplay barang ke pasar akan berkurang karena diperdagangkan di pasar gelap.  Lalu harga di pasar normal akan mengalami kenaikan tanpa bisa dicegah oleh negara. Selain mendorong terbentuknya pasar gelap, pematokan harga juga bisa mempengaruhi tingkat produksi atau konsumsi. Pada tingkat tertentu mungkin bisa menyebabkan krisis ekonomi.

b. Pendapat Setuju Dengan Tas'ir
        Pendapat yang membolehkan tas'ir bertentangan dengan mayoritas para ulama. Tetapi beberapa ahli, seperti Sa’id bin Musayyib, Rabiah bin Abdul Rahman dan Yahya bin Sa’id, menyetujuinya. Para pengikut Abu Hanifah berkata bahwa pemerintah harus menetapkan harga, hanya bila masyarakat menderita akibat peningkatan harga itu, di mana hak penduduk harus dilindungi dari kerugian yang diakibatkan oleh ketidak seimbangan harga.
        Ibnu Taimiyah menafsirkan sabda Rasulullah SAW yang menolak penetapan harga, meskipun pengikutnya memintanya, itu adalah sebuah kasus khusus dan bukan aturan umum. Itu bukan merupakan merupakan laporan bahwa seseorang tidak boleh menjual atau melakukan sesuatu yang wajib dilakukan atau menetapkan harga melebihi nilai ganti yang sesuai. Ia membuktikan bahwa Rasulullah SAW sendiri menetapkan harga yang adil, jika terjadi perselisihan antara dua orang. Kondisi pertama, ketika dalam kasus pembebasan budaknya sendiri, Ia mendekritkan bahwa harga yang adil dari budak itu harus dipertimbangkan tanpa ada tambahan atau pengurangan (laa wakasa wa laa shatata) dan setiap orang harus diberi bagian dan budak itu harus dibebaskan. Kondisi kedua, dilaporkan ketika terjadi perselisihan antara dua orang, satu pihak memiliki pohon, yang sebagian tumbuh di tanah orang lain, pemilik tanah menemukan adanya bagian pohon yang tumbuh di atas tanahnya yang dirasa mengganggunya. Ia mengajukan masalah itu kepada Rasulullah SAW. Beliau memerintahkan pemilik pohon untuk menjual pohon itu kepada pemilik tanah dan menerima konpensasi atau ganti rugi yang adil kepadanya. Orang itu ternyata tak melakukan apa-apa. Kemudian Rasulullah SAW membolehkan pemilik tanah untuk menebang pohon tersebut dan ia memberikan konpensasi harganya kepada pemilik pohon.
        Ibnu Taimiyah menjelasklan bahwa “jika harga itu bisa ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan satu orang saja, pastilah akan lebih logis kalau hal itu ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan publik atas produk makanan, pakaian dan perumahan, karena kebutuhan umum itu jauh lebih penting dari pada kebutuhan seorang individu.
Itu sebabnya penetapan harga hanya mungkin dilakukan jika diketahui secara pasti ada kelompok yang melakukan perdagangan dan bisnis melakukan manipulasi sehingga berakibat menaikkan harga. Ketiadaan kondisi ini, tak ada alasan yang bisa digunakan untuk menetapkan harga. Sebab, itu tak bisa dikatakan pada seseorang yang tak berfungsi sebagai penyuplai barang dagangan, sebab tak akan berarti apa-apa atau tak akan adil. Argumentasi terakhir ini tampaknya lebih realistis untuk dipahami.
Menurut Ibnu Taimiyah, barang barang yang dijual di Madinah (pada zaman Nabi) sebagian besar berasal dari impor. Kondisi apapun yang dilakukan terhadap barang itu, akan bisa menyebabkan timbulnya kekurangan suplai dan memperburuk situasi. Jadi, Rasulullah SAW menghargai kegiatan impor tadi dengan mengatakan, “Seseorang yang mambawa barang yang dibutuhkan untuk kehidupan sehari-hari, siapapun yang menghalanginya sangat dilarang. Faktanya saat itu penduduk Madinah tidak memerlukan penetapan harga.
Ibnu Taimiyyah sebagaimana yang diutarakan Dr. Yusuf Qardhawi menggabungkan tentang dibolehkan atau tidaknya tas’ir diperbolehkan jika adil dan dilarang jika ada kedzaliman.

        Dan Ibnu Khaldun pernah meneliti harga-harga di kota-kota. Ia membagi menjadi dua jenis, barang kebutuhan pokok dan barang mewah. Menurut dia bila suatu kota berkembang dan selanjutnya populasinya serta bertambah banyak maka harga-harga pokok akan mendapatkan penggandaannya. Akibat penawaran meningkat dan ini berarti penurunan harga. Adapun untuk barang-barang mewah, permintaannya akan meningkat sejalan dengan berkembangnya kota dan berubahnya gaya hidup. Akibatnya, harga barang mewah meningkat. Ibnu Khaldun juga menjelaskan mekanisme penawaran dan permintaan dalam menentukan harga keseimbangan. Secara lebih rinci ia menjabarkan tentang perkembangan pengaruh persaingan diantara konsumen untuk mendapatkan barang pada sisi pemintaan. Setelah itu ia menjelaskan pula pengaruh meningkatnya biaya poduksi karena pajak dan pungutan-pungutan lain di kota tesebut pada sisi penawaran.

        Dari keterangan di atas, tampak sekali bahwa penetapan harga hanya dianjurkan bila para pemegang stok barang atau para perantara di kawasan itu berusaha menaikkan harga. Karena itu jika tidak ada masalah dalam harga, lebih baik tidak menetapkan harga, tetapi membiarkan pasar yang akan berperan di dalamnya.
        Berbeda dengan kondisi musim kekeringan dan perang, Ibnu Taimiyah merekomendasikan penetapan harga oleh pemerintah ketika terjadi ketidaksempurnaan memasuki pasar. Misalnya, jika para penjual menolak untuk menjual barang dagangan mereka kecuali jika harganya mahal dari pada harga normal (al-qimah al-ma’rifah) dan pada saat yang sama penduduk sangat membutuhkan barang-barang tersebut. Maka mereka diharuskan menjualnya pada tingkat harga yang setara, contoh sangat nyata dari ketidaksempurnaan pasar adalah adanya monopoli dalam perdagangan makanan dan barang-barang serupa. Dalam kasus seperti itu, pemerintah harus menetapkan harganya untuk penjualan dan pembelian mereka. Pemegang monopoli tak boleh dibiarkan bebas melaksanakan kekuasaannya, sebaliknya otoritas harus menetapkan harga yang disukainya, sehingga melawan ketidakadilan terhadap penduduk.

PENUTUP
Simpulan
            Kata tas'ir berasal dari kata sa'ara-yas'aru-sa'ran, yang artinya menyalakan.  Lalu dibentuk menjadi kata as-si'ru dan jamaknya as'ar  yang artinya harga (sesuatu). Dan para ulama merumuskan definisi tas'ir secara syar'i, yaitu: seorang imam (penguasa), wakilnya atau setiap orang yang mengurusi urusan kaum Muslim memerintahkan kepada para pelaku pasar agar tidak menjual komoditas kecuali dengan harga tertentu, Para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya tas'ir ini,mereka masing-masing mempunyai dalil dan a;asan sendiri untuk menetapkan hukumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Gema Insani Press : Jakarta,            2000. yang diterjemahka oleh Zainal Arifin dan Dahlia Husin dari  Daurul Qiyam      wal Akhlam  fil Iqtishadil Islami.

Karim, Adiwarman, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Gema Insani Press :       Jakarta, 2003.

Asmuni, Drs., H., Penetapan Harga dalam Islam: Perpektif Fikih dan Ekonomi,   http://pa-balikpapan.net/index.php (diakses tanggal 24 April 2010)

Utomo, Setiawan, Budi, Pematokan Harga oleh Pemerintah,         http://www.eramuslim.com/konsultasi/fikih-kontemporer/pematokan-harga.htm    (diakses tanggal 3 Desember 2008)

Mustika, Falery, At-Tas'ir (Pematokan Harga), http://www.mail-            archive.com/aroen99society@yahoogroups.com/msg02707.html. (diakses tanggal 5 November 2006)

Ugie, Penetapan Harga dalam Islam: Perpektif Fikih dan Ekonomi,
            http://ugieedu.blogspot.com/2011/02/penetapan-harga-dalam-islam-perpektif.html (diakses Februari 2011)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar